Penulis : Azhar Nurun Ala
‘’Karena cintanya adalah
pancaran cahaya – tak kan berhenti hanya karena kau menutup jendela’’
Ada sepuluh foto disana.
Yang membawanya pada kenanga lama. Kenangan yang mungkin tak pernah bisa
kembali. Cerita seorang anak yang ditinggalkan ibunya ketika melahirkannya dan
hanya dibesarkan oleh seorang ayah. Ayah yang kuat , yang begitu mencintai ibunya
hingga sosok seorang ibu juga ada dalam dirinya – seperti dalam puisinya yang
ditulis saat kelas tiga sekolah dasar.
Ibuku adalah ayahku
Seperti matahari
Ayah memberikan cahaya
untukku
Ibuku adalah ayahku
Aku sangat mencintai ayah
Kami akan ke surga
bersama-sama
Menyusul ibu yang kini
sudah menunggu di sana.
( Halaman 139 )
Dan ayah yang juga amat
mencintai dirinya karena memang ia lah satu satunya. Ayah yang selalu memberi
pemahaman kehidupan , membesarkannya dengan penuh kesabaran. Hingga dirasa, ia
beranjak dewasa.
Huumb kak azhar ini emang
kece, bukan cuma orangnya yang kece tapi tulisannya juga. Lihat dan baca deh
tulisannya, kak Azhar mengajak kita kembai merenungkan seberapa besar cinta
kita pada ayah. Pada sosok yang jarang menampakkan kelelahannya. Haru
bahagianya, kesedihannya serta sosok yang selalu tampak kuat meski kita tak
pernah tahu dalam hatinya. Mengingat-ngingat kembali berapa kali gue
mengabaikan ayah. Tak terhitung dosa mengecewakannya. Lupa membehagiakannya
sampai tak tahu cara mengungkapkan cinta padanya.
Bukankah baru terasa jika
kehilangan mulai menimpa? Allah , mudah-mudahan kita dijauhkan dari segala
macam penyesalan. Belajar mensyukuri kita yang masih merasakan sosok ayah. Atau
coba lihat kesedihan mereka yag justru tak pernah merasaka kasih sayang ayah.
Yang rindu sampai lupa seperti apa rasanya. Setiap episode kehidupan memang
harusnya disyukuri, agar tak alali dan menyesal.
Banyak sekali kutipan yang
gue suka disini, seperti ini :
Setiap manusia
punya hati nurani yang selalu bersuara. Sebagian kita mendengarkan dan
mengikutinya, sebagian mendengarkan lalu melupakannya begitu saja, sebagian
lagi menutup telinga. Kita bisa lakukan apa saja, tapi hati nurani akan tetap
bersuara. Sayangnya , dunia ini sudah semakin bising.terlalu banyak hal seru
yag bisa dibicarakan di dunia ini, yang mengalihkan kita dari mendengar nurani
kita sendiri. (halaman pengantar)
Menjadi guru adalah pengabdian , bukan
sekedar soal gaji atau bonus ( halaman 24)
Manusia terlalu sering mempertanyakan
hal-hal yang sebenarnya sudah terang benderang hanya untuk mendramatisasi
kelemahannya, atau kadang , unuk memamerkan betapa kriis dirinya. Merasa
terlalu lemah atau terlalu kuat , keduanya selalu menjauhnya kita dari pengakuan
atas kebenaran , meskipun itu telah nyata di hadapan (halaman 33)
Tak ada cinta sejati tanpa kemantapan
hati dan kemampuan. Mereka yang berkata ‘’Aku mencintaimu ‘’ dengan hati yang
mantap tapi tanpa kapasitas yang mumpuni untuk menjaga, merawat , dan menumbuhkan,
hayalah para perayu – kalau bukan pembual. Mereka yang memiliki kemampuan tapi
tak mantap hatinya adalah peragu (halaman 45)
Rumah hanyalah bangunan mati yang bisu
dan dingin tanpa orang – orang yang kita cintai didalamnya ( halaman 51)
Kita memohon untuk ditunjukkan jalan
yang lurus berkali kali setiap hari, tapi kita menutup mata. Adakah hal yang
lebih tolol dari ini ? seperti kau yang meminta orang yang baru kau kenal untuk
mengenalkan dirinya, tapi ketika ia mulai bicara kau justru menutu telinga.
Tentu saja – setidaknya dalam hati – dia begitu ingin menamparmu. Kau mau
ditampar Tuhan? (halaman 55)
Kita
memang kadang perlu menjadi buta dan tuli. Buta dari ketakutan-ketakutan yag
tak semestinya , tuli dari bisikan atau teriakan yang melemahkan (halaman 77)
Sebab jejak terlanjur terpacak.
Terlalu lama menengok ke belakang membuat lehermu pegal. Nafasmu tersengal.
Kamu jadi mudah lelah , jadi mudah gundah. Jejak terlanjur terpacak. Ada bekas
yang sudah tak bernafas. Takkan hilang sejauh apa pun, kamu coba buang. Hanya
akan jadi samar ditelan waktu, sedikit terlupakan. (halama 157)
Bogor, 20
Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar